Behind the Stage: Tari Saraswati
Pemutaran Film Dokumenter di Temu Kangen IKASTISI 2025
Film dokumenter Behind the Stage: Tari Saraswati diputar dalam acara Temu Kangen IKASTISI 2025 sebagai bagian dari upaya mendokumentasikan perjalanan penting seni pertunjukan di lingkungan ISI Yogyakarta. Film ini mengisahkan proses penciptaan dan perkembangan Tari Saraswati, dari awal mula diciptakan hingga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari prosesi Sidang Senat ISI Yogyakarta. Tarian ini diciptakan oleh Dra. Sri Hastuti, M.Hum dan Dr. Darmawan Dadijono, dengan penata iringan Drs. Sunyata, M.Hum. Sebagai karya yang kini berperan penting dalam simbolisasi nilai-nilai institusi, Tari Saraswati telah menjelma menjadi ikon yang mewakili jati diri ISI Yogyakarta.
Film ini diproduseri oleh Dr. Rina Martiara, M.Hum yang juga menjabat sebagai Ketua Jurusan Tari. Dalam pengantarnya, ia menekankan bahwa dokumenter ini tidak menghadirkan dramatisasi layaknya film fiksi, melainkan berfokus pada keseharian yang terjadi di balik panggung: proses latihan, persiapan menjelang pementasan, hingga dinamika yang sering kali dianggap remeh namun esensial bagi pelaku seni. Justru dari keseharian itulah, film ini mengajak penonton untuk menyadari bahwa Tari Saraswati bukan hanya sebuah pertunjukan, melainkan ruang aktualisasi nilai, pengetahuan, dan spiritualitas seni.
Kesadaran bahwa Tari Saraswati telah menjadi bagian dari identitas visual dan kultural ISI Yogyakarta mendorong pentingnya pelestarian dalam bentuk dokumentasi. Film ini adalah langkah awal dari rangkaian pengembangan karya selanjutnya: rencana pembuatan film fiksi yang menggali legenda dan situs-situs yang berkaitan dengan Dewi Saraswati, serta film tari sebagai bentuk eksplorasi ekspresi artistik. Gagasan ini bahkan telah melebar ke ranah seni rupa, dengan rencana pembuatan patung Dewi Saraswati yang diinisiasi oleh Rektor ISI Yogyakarta, Timbul Raharjo, terinspirasi dari visualisasi para penari Saraswati dalam pameran YICAF-3 di Fakultas Seni Rupa dan Desain.
Behind the Stage: Tari Saraswati bukan sekadar dokumentasi proses, tetapi juga jejak kolaboratif untuk merawat ingatan institusional, memperkuat refleksi seni, dan menandai arah baru identitas seni pertunjukan di ISI Yogyakarta.

Dosen Jurusan Tari ISI Yogyakarta, Galih Prakasiwi, Presentasi di Konferensi Internasional AAS 2025 di Ohio, AS
Galih Prakasiwi, dosen Jurusan Tari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, turut berpartisipasi sebagai pemakalah dalam konferensi bergengsi Association for Asian Studies (AAS) Annual Conference 2025 yang berlangsung di Ohio, Amerika Serikat, pada Jumat, 14 Maret 2025.
Dalam kesempatan ini, Galih mempresentasikan makalah berjudul “Reading Nature through Dance Movement: Dance for Ecological Awareness of Children in Rural Area”. Presentasi ini merupakan bagian dari panel “Intergenerational Discursive Practices and Aesthetics as Praxis in Indonesian Women’s Livelihood and Knowledge”, yang dipimpin oleh Cahya H. Yunizar (University of Minnesota), dan didiskusikan oleh Sumarsam, etnomusikolog senior dan profesor emeritus dari Wesleyan University. Panel ini juga menghadirkan Rachmi D. Larasati (profesor bidang politik transnasional dan gender dari University of Minnesota) dan Cahya H. Yunizar (visiting scholar di University of Minnesota) sebagai pemakalah lainnya.
Makalah Galih didasarkan pada penelitian tentang bagaimana praktik tari dan pembelajaran tari dapat menjadi sarana pengembangan pengetahuan ekologi sebagai cara memahami dunia. Ia berargumen bahwa ketika anak-anak belajar dan menciptakan tari, mereka melibatkan tubuh, kepekaan, kerja sama, dan kesadaran akan kesejahteraan bersama. Penelitian ini menunjukkan bahwa pemahaman tubuh merupakan langkah awal menuju kesadaran atas hubungan antara kesejahteraan diri dan keseimbangan ekologis di lingkungan sekitar.
Penelitian difokuskan pada anak-anak di Oemah Larasati, sebuah kawasan pedesaan di pinggiran kota Yogyakarta. Di tempat ini, kelas-kelas dirancang untuk mengeksplorasi gerak dan mengamati lingkungan sekitar, dengan inspirasi dari tumbuhan di pekarangan, sawah, dan hewan. Anak-anak mengamati objek, menciptakan cerita dalam kelompok kecil, lalu mengembangkan gerak individual yang dibagikan kepada teman-teman. Dalam kurun waktu satu tahun, ditemukan bahwa anak-anak mampu menciptakan narasi dan gerak tentang lingkungan hidup mereka, yang juga merujuk pada bentuk tari tradisional Jawa. Mereka juga memilih gerakan dari imajinasi mereka dan merancang kostum sendiri.
Metode ini diajukan sebagai bagian dari praktik pembelajaran yang mendekolonisasi, dengan berakar pada estetika yang tumbuh dari lingkungan dan pengalaman anak-anak di pedesaan. Panel yang diikuti Galih secara keseluruhan mengkaji praktik diskursif lintas generasi dalam studi Asia, dengan fokus pada estetika sebagai bentuk praksis dalam konteks kehidupan dan pengetahuan perempuan Indonesia. Panel ini menelusuri bagaimana bentuk seni, cerita/lisan, dan pengalaman tubuh berperan penting dalam proses mengetahui yang berlapis secara spasial dan temporal. Melalui pendekatan interdisipliner, para pembicara menandai kesinambungan, perubahan, dan keberagaman ekspresi sebagai bentuk ketahanan dalam menghadapi berbagai konteks kewargaan.
Keterlibatan Galih Prakasiwi dalam AAS 2025 menunjukkan kontribusi aktif ISI Yogyakarta dalam forum akademik internasional dan memperkuat posisi seni tari sebagai medium reflektif yang relevan dengan isu-isu kontemporer seperti pendidikan, lingkungan, dan keberlanjutan budaya.